Selasa, 25 Oktober 2016


Menulis sebuah cerita yang kusebut Al Kisah
Tentang aku, manusia pembelajar
Kehidupan yang kubaca dan kucerna
tentang proses itu memiliki tingkat paling pertama
bahwa hasil adalah yang ke dua di mata Tuhan
From zero to hero
Itu semboyan hidupku
Ingin memulai dari biasa menjadi luar biasa
karena hidup perlu perubahan
Bukankah Tuhan sudah menjanjikan dalam ayatNya?
“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” Q. S. Ar Ra'ad: 11
Ya, itu yang kupegang saat itu
perubahan ke arah yang lebih baik
perubahan yang membawa secercah cahaya harapan
karena manusia maha hina, tidak luput dari dosa
Proses tentang sebuah ukhuwah
Atau tentang sebuah pencarian jati diri
bahkan tentang cinta yang kucari
semua itu dinilaiNya dan tak luput dari mataNya
Gambar-gambar ini melukiskannya
Tentang aku manusia pembelajar
Ingin kutuliskan semuanya
namun terbatas pada sebuah gambar
SMI, 26-10-2016

Senin, 24 Oktober 2016

 
DUNIA

Ada keluh kesah keluar dari mulut si sakit yang berbaring lemah tak berdaya,

Ada tangis dan air mata mengalir di pipi si ibu yang ditinggalkan buah hatinya,

Ada kesedihan yang mendalam tergambar di wajah si miskin yang tak berada,

Ada penyesalan yang tanpak di mata seorang yang berdosa,

Ada secercah harapan dilantunkan dengan merdu oleh kedua orang tua dalam do’a mereka untuk anak- anaknya,

Ada cucuran keringat mengalir dari pori-pori si tua yang jauh dari anak-anaknya,

Ada tawa dan jenaka sang penghibur di dunia laga yang bekerja demi uang rupiah,

Ada masalah yang menimpa,

Ada ujian yang mendera,

Adakah dari mereka yang ingat akan diriNya?

Dialah sang pencipta,

penguasa alam semesta.



*Jakarta, 27 Juni 2009



DIAM

Diam,

Semua diam

Mengapa harus diam?

Mulut tak bisu

Mata tak buta



Tibalah masa

Di mana mata menjadi buta

Hilanglah rasa iba

Lenyaplah kata-kata



Dulu

Rumah bagai istana

Kini hening bagai "astana"

Dulu

Hartamu berlimpah

Kini

Hanyut bagai limbah



Roda kehidupan terus berputar dalam peredaran zaman

Yang sejahtera yang sejahtera

Yang sengsara yang sengsara

Hidup nafsi – nafsi

Hanya karena ambisi duniawi



*setahun yang lalu di kampung halamanku



CINTA

Padaku ada sebuah rasa,

Rasa yang belum terungkap,

Rasa yang telah lama terpendam,

Rasa yang tercipta sejak dulu kala,

Rasa yang wajar bagi setiap manusia,

Rasa yang tak terlarang namun punya suatu aturan,

Rasa yang tertanam dari lubuk hatiku yang paling dalam,

Adakah rasa yang memahami rasaku ini?



Cinta…

Rasa itu semakin menggelora,

Namun aku takut,

Takut sang empunya rasa,

Takut rasa ini melebihi cintaku padaNya,



Ya Robb…

Maafkan hamba,

Hamba terlalu lemah dan tak bisa berdusta ,

Haruskah kuungkapkan rasa ini padanya?

agar aku tak menderita



Jakarta, 4 Juli 2009



SAAT RAMADHAN

Saat mata ini memandang Keindahan paras wanita

Saat itu juga kutundukan hatiku dan berpaling pada Keindahan bidadari di surga

Lalu ku tahu semua itu hanyalah fatamorgana dunia


Kala mata ini melihat megahnya suatu istana di dunia

Kala itu juga mata hatiku tertuju pada lebih megahnya istana di surga,

Lalu dimataku menjadi tak berhargalah bergelimangnya harta


Saat telingaku mendengar alunan lagu yang mengumbar syahwat

Saat itu juga kuteringat akan pahala satu huruf dari ayat – ayatNya

Lalu kualihkan telingaku agar mendengarkan indahnya lantunan ayat suci Al Quran

kuraih dia dan perlahan kumulai membacanya



Kala nafsuku mengajakku untuk masuk ke dalam rambu- rambu laranganNya

Namun ku teringat akan siksa kubur yang sangat pedih dan penuh derita


Ketika perut ini menahan rasa lapar, dan mulut ini kubiarkan kering karena kehausan,

Namun ku ingat akan janjiNya sebagai balasan dari puasaku di akhirat kelak…



Semua itu kulakukan untuk tamu yang mulia

Ramadhan…



*Jakarta, Ramadhan tahun lalu 




 
Takbir  ini,
Menggema bersama desiran pasir
Senja hari ini,
Melukis merahnya langit dengan kobaran rindu
Mengekalkan cinta

Takbir ini,
Menjadi batas antar aku dan kalian
Antara perjuangan dan impian
Antara cucuran keringat dan keringnya luka

Akankah,
Takbir kita,
Abadi menemani senandung para  pengembara
Yang mengukir merahnya kelopak mata demi sang pencipta

Takbir kita,
Kini menggelora melukis jejak suci-abadi
Dan menoreh cinta,
Pada jiwa-jiwa mempesona.

Qatar, 28 Ramadhan 1432 Hijriyah

Tangisan Seperti Apakah?

Andai aku seperti angin, yang bebas mencari kabar sebenarnya,
Andai aku seekor cicak di dinding, yang bisa melihatnya dari atap rumah
Andai aku sapu tangan, tentu kau raih aku sebagai pengusap air matamu

Namun… aku jauh,
Antara kita, ada jarak terbentang yang memisahkan,
Pertemuan kita, hanya di balik maya dan suara,

Hanya rasa, dalam jiwa
Yang bertaut dalam keyakinan
Ada persamaan,
Ada kekurangan,
Saling melengkapi
Dalam ikatan suci.

Untukmu yang mendambakan sosok itu,
Qatar, ba’da maghrib 16 September 2011.