Senin, 28 Maret 2011

Cerpen : Kiai Jarkoni

Kiai Jarkoni

Ada kapur tulis nggak, Min?”
Mas Pur menghampiri Amin yang sejak tadi tengah sibuk mengepak barang-barang dagangannya di gudang.
“Kapur tulis? Ada, di meja belajar saya. Ambil aja Mas, di kamar…” Jawab Amin, sedikit heran.
Tanpa bertanya lagi, Mas Pur segera meninggalkan Amin dan beranjak pergi menuju kamar Amin. 

Entah apa yang ada di benak kakak ipar Amin itu. Sehabis Zuhur, dia berlagak aneh. Dia mengambil kapur tulis dari kamar Amin. Lalu pergi memasuki masjid yang letaknya bersebelahan dengan rumah Amin.

Mas Pur sudah berada di dalam masjid. Langkahnya terhenti, saat ia melihat hamparan karpet masjid yang berwarna hijau itu mulai menipis. Warnanya pudar, tak secerah dulu, saat karpet itu masih baru. Tumpukan debu yang bersembunyi di dalamnya, berkumpul di atas lantai masjid yang berkeramik. Sekali karpet itu ditepuk, debu-debunya akan terbangun dan berterbangan ke seantero ruangan masjid. Padahal seminggu kemarin, ruangan dan sekitar masjid baru saja dibersihkan. Saat ibu-ibu pengajian mendapat giliran piket membersihkan masjid.

Mas Pur menghampiri mihrab, tempat Kiai Kosasih mengimami sholat berjama’ah. Matanya tertuju pada papan tulis yang bersandar di dinding mihrab, samping podium. Selanjutnya, ia menuliskan dua kata di atas papan tulis tersebut, ‘ KIAI  JARKONI’.
“Dasar ‘kaburo maqtan’!” Ucap Mas Pur, sembari melemparkan kapur tepat ke muka papan tulis itu.
“Pletuk!”.  

“Siang-siang begini sudah ribut di masjid… ada apa, Mas?”
Amin menegur Mas Pur, sembari menepuk pundaknya dari belakang. Membuat Mas Pur kaget.
“Wih…kamu, Min. Iki loh, Kiai Jarkoni…” Jawab Mas Pur dengan logat bahasa jawanya yang medok, sembari memperlihatkan tulisan yang ada di papan tulis itu.
Mata Amin terbelalak, mulutnya ternganga melihat tulisan di depannya.
“Kiai Jarkoni? siapa tuh, Mas?” Tanya Amin keheranan, sembari menarik-narik  jenggotnya yang tebal.
“Ya, siapa lagi, kalau bukan bapaknya si Rahmat itu, Min!”
“Maksud Mas, Kiai Kosasih…?”
 “Iyya…!”
“Kok dipanggil kiai Jarkoni, Mas?”
 “Ya, iya… kiai Jarkoni, ngajar tapi nggak melakoni, Min…”
“Ha ha ha…” Amin pun menggeleng kepala, dan tertawa renyah.

Sudah sebulan ini, Kiai Kosasih tidak lagi mengimami jama’ah di masjid. Penyebabnya sepele, gara-gara jama’ah tidak menuruti perintahnya yang mewajibkan mereka harus memakai pakaian serba putih setiap shalat. Mulai dari sarung, sampai baju kokok pun, disuruhnya yang berwarna putih. Hanya peci yang dibolehkan tidak berwarna putih, karena peci putih itu biasa dipakai Pak Haji…
 “Gak pantas!” Kata Kyai Kosasih.

“Jangankan sarung putih, Min, sarung bolong pun aku tak punya.” Kata Mas Pur kepada Amin suatu ketika.

Kiai Kosasih, memang seorang tokoh yang sangat berwibawa. Kepintarannya dalam memimpin warga, patut diangkat jempol. Tak salah lagi, kalau Lurah Kebon Asem mengangkatnya sebagai ketua RT di Kampung Cibolang itu. Selain pintar dalam masalah agama, dia pun jago dalam berpidato. Bicaranya tegas, mengimbangi postur tubuhnya yang tinggi dan gempal, dilengkapi dengan kumis ‘baplangnya’ yang sering ia pelintiri saat bergaya di atas panggung. Hal itu menjadi nilai plus baginya, untuk masuk sebagai kriteria ‘Pemimpin Umat’ di kampungnya.

Kiai Kosasih, memang disegani oleh warga sekitarnya. Bahkan oleh para kiai yang lainnya. Setiap ada acara apapun, warga tak pernah lupa untuk mengundangnya dan memintanya untuk mengisi acara. Dia telah berhasil membangun karismanya di tengah masyarakat.

Namun sayang, seiring waktu berjalan, karismanya pun mulai pudar. Karena penyakit hati yang dimilikinya, yaitu Kaburo Maqtan. Istilah dari Alqur’an, yang biasa dipakai warga Cibolang bagi seseorang yang mengajak suatu kebaikan, tetapi dia sendiri tidak mengamalkannya. Ibarat sebuah lilin, yang hanya bisa menerangi kegelapan, sedang dirinya meleleh karna habis termakan api. Istilah yang disebut Mas Pur sebagai “Kiai Jarkoni”. Ya! Kiai yang pintar berceramah, tapi dia belum pintar mengamalkan ilmunya untuk dirinya.

Kiai Kosasih lupa pada satu hadits yang pernah ia sampaikan kepada jama’ahnya, “Fu Anfusakum Wa Ahlikum Naaro” (Jagalah diri dan keluargamu dari siksa api neraka). Menyuruh suatu kebaikan, haruslah dimulai dari diri, keluarga, setelah itu baru lingkungan sekitar.

Setiap kali Zuhur tiba, Kiai Kosasih tidak mendatangi masjid. Dia malah sibuk dengan sawahnya yang berhektar-hektar itu. Akhirnya, Amin yang biasa azan Zuhur pun harus mengambil posisi Kiai Kosasih sebagai imamnya. Sedang Mas Pur dan Bapak Amin, bertindak sebagai makmum. Adapun warga yang lainnya, mereka terlena dengan kesibukannya masing-masing. Seolah-olah, mereka tak mau kalah dengan Kiai Kosasih. Azan Zuhur yang dikumandangkan oleh Amin pun, layaknya seperti nyanyian seorang pengamen yang tak dihiraukan orang dan berlalu begitu saja.

Warga di kampung Cibolang, akhir-akhir ini sering membicarakan perihal penyakit Kiai Jarkoni itu. Bagaimana tidak, beberapa aibnya sudah terlampau batas. Bahkan sudah tersebar ke mana-mana. Tentang shalatnya dia di rumah, dengan meninggalkan shalat berjama’ah di masjid. Uang infak jama’ah yang di pinjamnya, untuk modal usahanya berternak kambing. Sampai saat ini, belum juga di kembalikannya. Lebih parah lagi, tahun ini Kiai Kosasih tidak memberikan zakat mal tahunan anak sulungnya kepada warga, padahal itu adalah amanat.

Sikap Kiai Kosasih itu, sangat bertolak belakang dengan semua ceramah yang sering ia sampaikan kepada jama’ah yang hadir di setiap pengajian.
“Barang siapa yang shalat di rumah, maka kata Rasul rumahnya harus dibakar!” Katanya pada suatu ketika.
“Pahala shalat berjama’ah itu, lebih baik dari shalat sendirian, sebanyak 27 derajat” Ujarnya berapi-api di penghujung bulan Ramadhan.
“Ciri-ciri orang munafik itu :…Apabila diamanati, ia berkhianat!”. Ceramahnya lagi di lain kesempatan.
Masih banyak dalil lainnya, yang sudah tidak asing lagi ditelinga para jama’ahnya.

Suatu hari, warga beserta Amin mendatangi rumah Kiai Kosasih untuk menagih janji. Walau dengan rasa was-was, mereka terpaksa datang. Karena sudah terlanjur kesal, menunggu lama akan janjinya yang ingin membagikan uang zakat mal dari anaknya yang sekarang ini sudah kaya raya. Usaha anaknya sebagai pemilik rumah makan sunda, semakin maju. Bahkan sudah memiliki cabang di kota-kota besar. Biasanya, tiap tahun anak sulung Kiai Kosasih itu memberikan zakat dan dibagikan kepada warga yang hampir seluruhnya termasuk orang yang berhak menerima zakat. Entah kenapa, tahun ini Kiai Kosasih masih menyimpan lama uang zakat itu berada di sakunya.

Warga berbondong-bondong mengikuti barisan. Amin yang sudah siap menyerang Kiai Kosasih dengan argumennya, berada di barisan paling depan. Di sampingnya, terlihat Mas Pur yang sudah siap membela Amin. Warga mempercayakan kepada Amin untuk menghadap Kiai Kosasih, karena hanya dialah kerabat Kiai Kosasih yang paling dekat. Kiai Kosasih adalah Kakak kandung ibunya. Selain itu, Amin dipandang warga sebagai pemuda yang bisa diandalkan dalam hal berdebat masalah agama. Ilmu yang dimilikinya kini, adalah hasil dari kesabaran dan ketekunannya belajar kepada Kiai Kosasih. Mulai dari kelas satu Madrasah Ibtidaiyah, sampai saat ini, ketika usianya sudah menginjak 23 tahun.

Uwa… kedatangan kami ke sini hanya ingin menanyakan kabar Uwa, karena sudah sebulan lebih Uwa tidak lagi shalat berjama’ah di masjid bersama kami,” Jelas Amin, mengutarakan maksud kedatangannya bersama warga di sana.
Ente! ngora-ngora, wawanian nanya kitu ka kolot siah, Min!” (Kamu, masih muda sudah berani bertanya begitu sama orang tua, Min…) Sungut Kiai Kosasih.

Amin terkejut dengan jawaban Kiai Kosasih yang langsung menyerangnya dengan sangat garang. Mata Kiai Kosasih melotot, bak seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Mukanya pun, berubah memerah padam. Suasana di rumahnya itu, menjadi panas. Sejenak, Amin menunduk. Hatinya bergetar. Dia berusaha untuk lapang dada. Mencoba mengendalikan amarahnya. Sedang warga lainnya terlihat diam membisu. Walaupun mereka sebenarnya ingin sekali melampiaskan amarahnya yang selama ini terpendam.

“Warga kampung kita sangat membutuhkan Uwa. Masjid kita menjadi sepi, Wa…”

Amin terdiam sejenak, menuggu respon dari Kiai Kosasih. Kiai Kosasih tak menghiraukannya, ia malah sibuk membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja. Melihat itu, Amin  melanjutkan pembicaraannya.
“Selain itu, kedatangan kami ke sini bermaksud ingin menanyakan uang zakat dari Kang Rahmat, Wa…”
 “Ah…! Asal ente tahu ya, Min. Uwa mah sudah bosan dengan kalian yang tidak taat kepada imamnya, dosa!”

Brukk!

Meja tamu di gebraknya. Kiai Kosasih meniggalkan Amin dan warga menuju kamarnya. Dia langsung mengunci pintu kamar. Istri Kiai Kosasih yang dari tadi menyimak perdebatan suaminya dengan warga, manangis karena malu dengan perlakuan suaminya terhadap warga. Amin pun segera meninggalkan rumah, diikuti oleh warga. Akhirnya tujuan utama mereka untuk menagih janji Kiai Kosasih pun, tak mendapatkan hasil. Malah cibiran dan amarahnya yang mereka terima.
***

Pagi hari, Amin dikejutkan dengan sebuah benda besar berukuran segi panjang, yang bersandar tepat di depan pintu gudang, tempat Amin biasa menyimpan barang-barang dagangannya. Sebuah papan tulis, bertuliskan kaligrafi yang sangat indah. Hanya memakai kapur tulis. Terlukis sebaris ayat Al Quran.

Dahi Amin berkerut. Dia bingung. Siapa gerangan yang menyimpan papan tulis itu. Dan siapa gerangan yang menulis ayat itu dengan tulisan kaligrafi yang begitu indah. Pikiran Amin mengembara, mencoba mencari satu sosok yang mungkin bisa dituduh sebagai pelakunya. Akhirnya, Amin ingat akan satu sosok kakak iparnya, yang beberapa hari yang lalu pernah menulis kata Kiai Jarkoni di papan tulis itu. Tapi, Amin pun merasa tidak yakin, kalau Mas Pur lah pelakunya. Karena setahu dia, Mas Pur tidak bisa membuat kaligrafi yang seindah itu. Jangankan kaligrafi, menulis huruf hijaiyah saja masih gemetaran.

“Kaburo maqtan ‘indalloha an taquulu malaa taf’aluun…”
“Sangat dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Dengan perlahan, Amin mulai membaca ayat yang ditulis di papan tulis itu. Ayat ke tiga, yang terdapat dalam Al Qur’an surat As-Shaff. Hatinya bergetar. Setiap kata, ia terjemahkan artinya. Dan akhirnya badan Amin melemas. Kakinya seolah lumpuh, tak mampu menopang badannya. Seketika, ke dua lututnya mencium lantai. Sedang ke dua betisnya menjulur ke belakang dan menempel di lantai.
“Mas Pur…” Amin bergumam, bercampur rasa haru.

Amin baru ingat, kalau kakak iparnya itu pernah belajar kaligrafi dari Kiai Kosasih sebulan yang lalu bersamanya di masjid. Memang mas pur seorang yang semangat dalam hal menimba ilmu dan beribadah. Dia lah jama’ah yang tidak pernah absen menghadiri pengajian Kiai Kosasih. Dia lah yang paling rutin menyisihkan sebagian penghasilannya sebagai pedagang, untuk infak di masjid. Dan dia lah warga yang paling bersemangat dalam melakukan tugas kebersihan, setiap jum’at pagi.

Amin merasa sangat beruntung memiliki kakak ipar, seperti Mas Pur. Padahal, Mas Pur hanya pendatang di kampungnya itu, yang berasal dari Jawa Tengah. Meskipun ilmu agama yang dimilikinya sedikit, tetapi semangat dalam mengamalkannya begitu luar biasa. Kini, Mas Pur sudah tidak berada di kampungnya lagi. Sehari setelah kejadian demo masal di rumah Kiai Kosasih itu, Mas Pur beserta istri dan ke tiga anaknya pindah ke kampungnya di Jawa Tengah. Rasa kehilangan akan Mas Pur tiba-tiba muncul dalam diri Amin.
***
Mas Pur dan Kiai Kosasih, dua hamba Allah yang sedang Amin fikirkan di suatu malam. Sehabis shalat Isya, Amin masih di masjid dan tidak langsung pulang ke rumah. Amin duduk termenung sendiri di antara hamparan sajadah yang masih berserakan, bekas jama’ah shalat Isya tadi.

Mas Pur, seorang manusia yang diberi nikmat oleh Allah, berupa kemudahan dalam mengamalkan ilmunya. Bisa dibilang, dia orang bodoh dan awam terhadap agama. Amin ingat, dulu saat kedatangannya meminang kakak perempuannya yang bernama Aminah, sempat ditolak oleh Kiai Kosasih dengan alasan kekurangan Mas Pur dalam hal ‘Din’. Tapi, penolakan Kiai Kosasih dibantah keras oleh Aminah, kakaknya. Karena Aminah yakin, Mas Pur pasti bisa menjadi pemimpin keluarganya nanti. Sedang, Bapak dan Ibu Amin hanya bisa mendukung antara ditolak atau diterimanya Mas Pur sebagai suami Aminah. Walaupun mereka sempat terpengaruh oleh Kiai Kosasih. Mas Pur telah berjanji kepada Kiai Kosasih, kalau dia diterima untuk menikahi Aminah, dia akan belajar memperdalami agama islam padanya. Terbukti, selama dia mengikuti pengajian Kiai Kosasih, dia begitu semangat dan khusyu. Belajar mulai dari nol. Rukun-rukun shalat beserta bacaannya, ia pelajari. Satu hadits, satu ayat, dia berusaha untuk menghafalnya, dibimbing Aminah istrinya. Dan semua nasehat Kiai Kosasih, dia dengar, dan dia amalkan dalam sehari-harinya.

Sedang Kiai Kosasih, sudah tak diragukan lagi kepintarannya dalam hal ilmu agama. Ilmu alat, seperti nahwu dan shorof yang diwarisinya dari almarhum Kiai Zakaria, sudah disebarkan kepada murid-muridnya yang pernah menimba ilmu padanya, termasuk Amin. Serta tafsir qur’annya yang ia kuasai dari berbagai kitab tafsir, selalu ditunggu oleh ulama lainnya, untuk sekedar berbagi ilmu kepada mereka. Juga ilmunya dalam berpidato, sudah diturunkan kepada murid- muridnya. Namun, rupanya syetan dalam dirinya sebanding dengan kepintaran Kiai Kosasih dalam menggoda dan menyesatkan jalannya. Sehingga Kiai Kosasih lupa akan dirinya, terlena dengan kedudukannya, dan takjub atas kepintarannya…

“Astaghfirullah…”. Amin beristighfar. Hatinya berontak, ingin segera menolong pamannya itu yang hampir terperosok ke dalam jurang. Namun keinginannya itu, tak didukung oleh kemampuannya dalam menghadapi Kiai Kosasih yang hatinya keras bak batu itu. Amin hanya mampu berdo’a dan berharap kepada Allah yang maha membalikan hati manusia, Semoga Kiai Kosasih dibimbingNya ke jalan yang benar, Allah mengembalikannya ke hati yang semula, hati yang penuh dengan cinta terhadap sesama, bukan hati yang terkotori oleh nafsu dunia yang maha fana…
Amin…”

“Kiai Jarkoni….he he…”. Ucap Amin seketika, sembari tertawa nyengir.

Amin berfikir, mungkin di luar sana masih banyak Kiai Jarkoni-Kiai Jarkoni lainnya. Bisa jadi kelakuannya lebih parah dari kelakuan pamannya itu. Bagaimana jadinya, di negaranya yang mayoritas kaum muslimin itu dipimpin oleh Kiai Jarkoni. Apakah memang ini pertanda akhir zaman?. Di mana, banyak orang yang pintar berceramah sedang ulama yang takut kepada Allah menjadi minim, bahkan punah ditelan zaman. Dalam sendirinya, Amin menghela nafas…

Malam di kampung Cibolang itu mulai sepi, sesepi rumah Allah dari sang Kyai. Semua penghuninya sudah berada di rumah masing-masing, menikmati sajian acara sinetron di televisi. Hanya sesekali suara telapak kaki orang lewat terdengar. Atau cekikikan anak-anak muda yang berada di teras rumah, samping masjid. Entah apa yang mereka bicarakan. Tak mau kalah, suara kodok dan cekrikan jangkrik di pematang sawah, ikut meramaikan suasana malam.

Catatan :
*Iki           = Ini
*Melakoni = Melaksanakan / Menjalankan
*Uwa        = Panggilan keponakan kepada pamannya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar