Selasa, 29 Maret 2011

Resep Masakan : Dadar Telur Isi Wortel, Resep Ibu Sejak Dulu



1298274350269176228
Resep dadar telur ini sangat inovatif. Ibuku memang pintar dan kreatif. Dia tahu bagaimana membuat masakannya disukai saya dan kakak-kakakku. Dadar telur ini, Ibu buat lebih beda dengan dadar telur biasa. Ibu tambahkan wortel yang sudah diparut sebagai isinya. Biasanya Ibu sajikan untuk sarapan pagi kami sebelum berangkat sekolah.

Bahan yang diperlukan sangat sederharna. Masaknya pun cepat. Cuma butuh beberapa menit saja. Cocok buat yang sibuk kerja di kantor, atau mahasiswa yang mandiri, masak dan mandi sendiri kayak saya (hehehe...).

Buat para kompasianer yang tertarik untuk mencoba membuat dadar telur isi wortel ini, berikut saya bagikan resepnya. Asli dari tangan Ibuku loh...

Bahan-bahannya :
1. Telur Ayam 5 butir
2. Wortel 4 buah
3.  Bawang daun
4.  Minyak goreng
5.  Lada bubuk
6.  Garam secukupnya

Cara membuatnya :
1. Kocok telur, masukan sebagian bawang daun yang sudah diiris, garam, dan lada bubuk.
2. Panaskan wajan, tuangkan minyak secukupnya, masukan telur yang sudah dibumbui, lalu buatlah melebar   hingga berbentuk telur dadar. Dinginkan di atas talenan atau piring lebar.
3. Panaskan wajan, tuangkan minyak secukupnya, masukan wortel yang sudah diparut, bubuhi garam, lada bubuk dan masukan sisa irisan daun bawang. Aduk beberapa saat.
4. Masukan wortel tadi ke atas dadar telur secara merata. Lalu gulung dadar telur menutupi isi wortel.
5. Potong menjadi beberapa bagian, lalu sajikan dengan saos dan nasi hangat.

Selamat mencoba... ^_^
 
(Sudah diterbitkan di kompasiana)



Wisata Kuliner : Sandwich dan Chai, Menu Sarapan Pertamaku di Qatar




Awalnya, saya ditawarin sandwich oleh teman sekantor. Sandwich yang dia kasih ini berupa gulungan khubuz (nama yang biasa dipakai orang arab di Qatar) atau sejenis dadar yang terbuat dari tepung gandum. Di dalamnya diisi dengan irisan daging ayam, dilengkapi dengan irisan tomat, mentimun, dan daun salada. Kemudian dicampur mayones dan saos. Kebetulan saat itu saya belum sempat sarapan di rumah. Jadi, sandwich itu cukup membantu saya untuk menjajal perut yang memang sudah terasa lapar.

Sebenarnya, lidah saya tidak terbiasa makan sandwich ini. Apalagi buat sarapan, yang biasanya nasi sama lauk pauknya. Tapi, entah karena lapar atau memang enak, sandwich itu terasa bersahabat di lidah saya. Hehe...

Baru setengah potong sandwich itu saya habiskan, tiba-tiba datang seorang OB asal Srilangka menyodorkan saya segelas chai. Hmmm... nama yang unik, dan baru terdengar di telinga saya. Segelas chai hangat, mulai kulirik. Warnanya coklat mirip bajigur, minuman khas orang sunda,  yang biasa saya beli dari penjual yang suka lewat depan rumah saya. Chai ini, dibuat dari teh yang diseduh, dan dicampur dengan susu cair. Paling enak diminum selagi hangat.

Besoknya, saya mencoba mengunjungi sebuah kafe milik orang India. Hanya untuk berburu sandwich dan chai. Kebetulan letaknya bersebelahan dengan kantor saya. Untuk satu potong sandwich harganya 3 real saja atau sekitar 7.350 rupiah. Saya lebih suka sandwich yang isi dadar telur. Harganya pun sama dengan sandwich isi daging ayam. Tak lupa saya pesan juga chai. Chai ini harganya Cuma 1 real, sekitar 2450 rupiah.

Sandwich diambil dari nama bangsawan bernama "The 4th Earl of Sanwic"(1718-1792). Sir Earl ini suka main kartu di meja dan tidak mau keasyikannya bermain kartu terganggu waktu makan. Maka dari itu Ia minta untuk dibuatkan roti yang praktis dan jadilah "Sandwich".

Nama chai, diambil dari bahasa arab, yaitu :"Syai" yang artinya teh. Chai ini menjadi minuman sehari-hari di Qatar. Hampir semua warung makan menyediakan chai sebagai minuman utama. Memang cocok sekali kalau disajikan dengan sandwich saat pagi hari.

Gimana, ada yang tertarik membuat sandwich dan chai ini di Indonesia?.

(Tulisan ini, sudah diterbitkan di kompasiana - kompas online)

Puisi : Diam

Diam
Diam,
Semua diam
Mengapa harus diam?
Mulut tak bisu
Mata tak buta

Tibalah masa
Di mana mata menjadi buta
Hilanglah rasa iba
Lenyaplah kata-kata

Dulu
Rumah bagai istana
Kini hening bagai astana
Dulu
Hartamu berlimpah
Kini
Hanyut bagai limbah

Roda kehidupan terus  berputar dalam peredaran zaman
Yang sejahtera  yang sejahtera
Yang sengsara yang sengsara
Hidup nafsi – nafsi
Hanya karena ambisi duniawi

Puisi : Dunia

Dunia
Ada keluh kesah keluar dari mulut si sakit yang berbaring lemah tak berdaya,
Ada tangis dan air mata mengalir di pipi si ibu yang ditinggalkan buah hatinya,
Ada kesedihan yang mendalam tergambar di wajah si miskin yang tak berada,
Ada penyesalan yang tanpak di mata seorang yang berdosa,
Ada secercah harapan dilantunkan dengan merdu oleh kedua orang tua dalam do’a mereka untuk anak- anaknya,
Ada cucuran keringat mengalir dari pori-pori si tua yang jauh dari anak-anaknya,
Ada tawa dan jenaka sang penghibur di dunia laga yang bekerja demi uang rupiah,
Ada masalah yang menimpa,
Ada ujian yang mendera,
Adakah dari mereka yang ingat akan diriNya?
Dialah sang pencipta,
penguasa alam semesta.

*Jakarta, 27 Juni 2009

Senin, 28 Maret 2011

Hobi : Cowok Hobi Masak? Hmmm... Gak Masalah...





Cowok hobi masak?. Hmmm… gak masalah… itulah aku. Heheh.


Dari dulu, saya paling senang lihat-lihat resep masakan dari koran atau pun majalah. Bahkan kalau ada acara masak di tv sekalipun, pasti mataku mampir sejenak memperhatikan lihainya seorang koki dalam mengolah bahan-bahan menjadi sebuah masakan. Atau, ketika saya berada di luar. Tukang nasi goreng, tukang sate, tukang siomay, tukang mie bakso, dan tukang dagang makanan lainnya, mereka selalu menjadi sasaranku. Padahal bukan maksud ingin beli, selebihnya saya ingin tahu cara mereka mengolah makanan-makanan yang mereka jual tersebut.

Suka penasaran, kalau saya melihat Ibu yang sering jualan aneka makanan ke rumah saya. Yang paling menarik bagi saya, adalah perkedel kentang . Makanan favorit saya, yang tidak boleh terlewatkan. Kentang yang berlapis kulit telur itu, berwarna coklat, Rasanya gurih, pedas. Waktu itu saya bingung, bagaimana cara membuat perkedel tersebut. Kentangnya direbus dulu? Atau bagaimana? Hmm…

Berawal dari Ibuku tercinta, saya sering dimasakin dadar telur untuk sarapan pagi saya sebelum berangkat sekolah. Hampir tiap pagi, dadar telur itu menjadi menu sarapan pagi untuk saya, dan ke dua kakakku. Saya pun komplain sama Ibu, bahwa saya mulai bosan dengan dadar telur. Akhirnya Ibuku yang pintar dan kreatif itu, membuat inovasi baru dengan bahan sama, telur. Tapi, telur ini dimasak bukan untuk dijadikan dadar. Ibu mencampurkan telur dengan mie instan yang sudah direbus. Ahha!. Ibu memang pintar... Telur dan mie instan itu pun digoreng dan disulapnya menjadi omelet telur. Omelet telur ini, paling enak dimakan saat masih hangat dengan nasi yang masih ngepul. Setelah itu, saya pun mulai mencoba membuat omelet telur dengan tangan saya sendiri. Ternyata gampang, dan tidak memerlukan waktu lama. Selanjutnya, saya pun mulai tertarik memperhatikan Ibu masak, dan dengan senang hati, tangan saya pun ikut terjun membantu Ibu di dapur.

Hmmm… itulah sejarah singkat saya, kenapa saya hobi masak. Manfaatnya terasa sekarang. Saat ini, saya bekerja di Timur Tengah, tepatnya di Qatar. Negri arab yang sedang makmur sekarang ini. Saya mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan yang sesuai selera dengan lidah kita, orang Indonesia. Kebetulan, tempat tinggal saya sangat jauh dengan restoran Indonesia. Jadi, mau gak mau saya harus jadi kokinya teman-teman satu rumah yang berasal dari Indonesia. Saya pun dengan senang hati, menerima permintaan mereka. Mereka pun bersedia memberikan uang iuran setiap bulannya, untuk membeli bahan-bahan yang akan saya masak.

Agak kesulitan juga bagi saya, dalam menemukan bumbu-bumbu masakan di Qatar ini. Seperti daun salam dan sereh. Kebanyakan di sini, bumbu-bumbu yang diinfor berasal dari India. Wajar, karena imigran dari India lebih banyak dari orang Indonesia. Tapi, hal itu tidak menjadi halangan bagi saya untuk memasak. Seadanya saja, bumbu saya beli. Yang penting bisa masak, bisa makan, dan bisa hemat. Heheh…

Bukan teman-teman saya yang dari Indonesia saja yang suka dengan masakan saya. Kebetulan rumah akomodasi yang disediakan oleh perusahaan saya ini, ditinggali juga oleh teman-teman saya yang berasal dari Philipina, Mesir, Nepal, dan Srilangka. Mereka sering mencicipi masakan karya saya di dapur, saat saya dengan mereka harus berebutan kompor gas untuk memasak. Yang paling mereka suka, adalah mie goreng. Bahkan, ada dari mereka, yang memesan satu porsi mie goreng dengan menawarkan harga 5 real atau sekitar 12.000 rupiah. Heheh…(Bisnis sampingan nih..).

Mie goreng yang saya masak ini, berasal dari Indomie yang diimfor dari negri kita tercinta loh… (Jadi bangga, heheh..). Saya pakai yang jenis indomie goreng, karena di dalamnya ada bumbu minyak, goreng bawang, dan kecap. Indomie ini, saya ambil sebanyak lima bungkus saja, lalu saya masak terlebih dahulu dengan air panas. Setelah itu saya sisihkan sebentar, supaya air yang tersisa dalam mie tersebut kering. Setelah itu, baru saya panaskan wajan untuk menggoreng. Tak banyak bahan yang saya pakai untuk mencampurkan mie goreng, cukup telur satu butir, sawi hijau, irisan bawang daun dan bawang putih, ditambah tomat yang berukuran besar. Kadang saya juga suka menambahkannya, dengan irisan sosis ayam atau sapi. Setelah bahan saya masukan ke dalam wajan beberapa menit, lalu saya masukan mie yang sudah saya tiriskan terlebih dahulu. Diaduk sebentar, dikasih bumbu mie goreng. Jadi deh mie goreng spesial… Saya taruh di piring lebar, saya hias dengan irisan mentimun dan kerupuk udang.

Hari Jum’at, adalah hari libur di Qatar. Pagi hari, biasanya digunakan orang-orang di sini untuk istirahat. Lain halnya dengan saya. Saya malah asyik dengan bahan-bahan masakan yang akan saya olah di dapur. Biasanya, hari jum’at saya masak ayam. Ayam kecap pedas lah yang menjadi pesanan teman-teman satu kamar saya. Mereka bilang, ayam kecap pedas yang saya masak itu, tak kalah dengan ayam kecap pedas yang ada di restoran Indonesia di Qatar. Hmmm.. jadi semangat nih…heheh…

Ya, saya berharap, dari hobi saya memasak ini, saya punya peluang untuk membuka warung makan nantinya. Tinggal saya kembangin, dan kumpulin duit buat modal usaha nanti… ^_^
Sekian, semoga bermanfaat.

(Tulisan karya saya ini, sudah diterbitkan di kompas online rubrik kompasiana)




















Akhirnya Kumenemukanmu (2)


Tepat pada Januari tahun 2011 yang lalu. Kabar tak terduga, datang dari pihak keluargaku. Mereka mengabarkan, bahwa ibu dari wanita yang dulu pernah aku temui dua tahun yang lalu datang ke rumahku. Ibunya bercerita, bahwa anak gadisnya hanya mau melakukan ta'aruf denganku saja. Bahkan dia pun membatalkan proses ta'arufnya dengan seorang ikhwan. Ibunya pun bercerita, sudah banyak ikhwan-ikwan yang datang ke rumah untuk melamar, ada yang punya perusahaan dengan aneka tawarannya, namun yang ada di fikiran anak gadisnya itu cuma namaku.

"Subhanalloh...". Kabar  yang sangat mengejutkan. Aku bingung dan tak percaya. Dua tahun sudah berlalu. Bahkan aku sudah lupa dengan gadis itu. Mengapa baru sekarang ia katakan hal itu?. Itu lah kebingunganku saat mendengar kabar dari keluargaku di Indonesia.

Ada perasaan haru bercampur bahagia menyeruak dalam dadaku. Tak percaya rasanya. Aku pun segera menghubungi no hpnya yang dititipkan ibunya kepada ibuku saat mendatangi rumahku. Di situlah, awal aku mengenalnya walau melalui telpon jarak jauh.

Qoddarullah, pertemuan pertamaku dua tahun yang lalu, ternyata berlanjut pada pertemuanku di dunia maya. Ya, aku dan dia sudah berkenalan sebelumnya di sebuah jejaring sosial muslim buatan Indonesia. Tak kusangka, akhwat yang ada di jejaring sosial itu, ternyata dia yang pernah kutemui dua tahun yang lalu...

Syukurku kepada Allah, yang sudah mengatur segalanya. Aku dipertemukan dengan calon istriku melalui caraNya yang tak kuduga-duga. Sementara, proses ta'arufku dengan seorang akhwat lain sudah lama kubatalkan, karena suatu hal yang belum membuatku merasa mantap dengannya. Dan ternyata awal februari tahun 2011 dia menikah dengan seorang ikhwan yang kebetulah sama-sama satu kelas, dulu di pesantren.

Semoga dia adalah jodohku yang Allah tentukan untukku. Aku sudah merasa mantap dengannya. Rasa cinta dan sayang ini, akan kupersembahkan untuknya karena Allah...




Cerpen : Kiai Jarkoni

Kiai Jarkoni

Ada kapur tulis nggak, Min?”
Mas Pur menghampiri Amin yang sejak tadi tengah sibuk mengepak barang-barang dagangannya di gudang.
“Kapur tulis? Ada, di meja belajar saya. Ambil aja Mas, di kamar…” Jawab Amin, sedikit heran.
Tanpa bertanya lagi, Mas Pur segera meninggalkan Amin dan beranjak pergi menuju kamar Amin. 

Entah apa yang ada di benak kakak ipar Amin itu. Sehabis Zuhur, dia berlagak aneh. Dia mengambil kapur tulis dari kamar Amin. Lalu pergi memasuki masjid yang letaknya bersebelahan dengan rumah Amin.

Mas Pur sudah berada di dalam masjid. Langkahnya terhenti, saat ia melihat hamparan karpet masjid yang berwarna hijau itu mulai menipis. Warnanya pudar, tak secerah dulu, saat karpet itu masih baru. Tumpukan debu yang bersembunyi di dalamnya, berkumpul di atas lantai masjid yang berkeramik. Sekali karpet itu ditepuk, debu-debunya akan terbangun dan berterbangan ke seantero ruangan masjid. Padahal seminggu kemarin, ruangan dan sekitar masjid baru saja dibersihkan. Saat ibu-ibu pengajian mendapat giliran piket membersihkan masjid.

Mas Pur menghampiri mihrab, tempat Kiai Kosasih mengimami sholat berjama’ah. Matanya tertuju pada papan tulis yang bersandar di dinding mihrab, samping podium. Selanjutnya, ia menuliskan dua kata di atas papan tulis tersebut, ‘ KIAI  JARKONI’.
“Dasar ‘kaburo maqtan’!” Ucap Mas Pur, sembari melemparkan kapur tepat ke muka papan tulis itu.
“Pletuk!”.  

“Siang-siang begini sudah ribut di masjid… ada apa, Mas?”
Amin menegur Mas Pur, sembari menepuk pundaknya dari belakang. Membuat Mas Pur kaget.
“Wih…kamu, Min. Iki loh, Kiai Jarkoni…” Jawab Mas Pur dengan logat bahasa jawanya yang medok, sembari memperlihatkan tulisan yang ada di papan tulis itu.
Mata Amin terbelalak, mulutnya ternganga melihat tulisan di depannya.
“Kiai Jarkoni? siapa tuh, Mas?” Tanya Amin keheranan, sembari menarik-narik  jenggotnya yang tebal.
“Ya, siapa lagi, kalau bukan bapaknya si Rahmat itu, Min!”
“Maksud Mas, Kiai Kosasih…?”
 “Iyya…!”
“Kok dipanggil kiai Jarkoni, Mas?”
 “Ya, iya… kiai Jarkoni, ngajar tapi nggak melakoni, Min…”
“Ha ha ha…” Amin pun menggeleng kepala, dan tertawa renyah.

Sudah sebulan ini, Kiai Kosasih tidak lagi mengimami jama’ah di masjid. Penyebabnya sepele, gara-gara jama’ah tidak menuruti perintahnya yang mewajibkan mereka harus memakai pakaian serba putih setiap shalat. Mulai dari sarung, sampai baju kokok pun, disuruhnya yang berwarna putih. Hanya peci yang dibolehkan tidak berwarna putih, karena peci putih itu biasa dipakai Pak Haji…
 “Gak pantas!” Kata Kyai Kosasih.

“Jangankan sarung putih, Min, sarung bolong pun aku tak punya.” Kata Mas Pur kepada Amin suatu ketika.

Kiai Kosasih, memang seorang tokoh yang sangat berwibawa. Kepintarannya dalam memimpin warga, patut diangkat jempol. Tak salah lagi, kalau Lurah Kebon Asem mengangkatnya sebagai ketua RT di Kampung Cibolang itu. Selain pintar dalam masalah agama, dia pun jago dalam berpidato. Bicaranya tegas, mengimbangi postur tubuhnya yang tinggi dan gempal, dilengkapi dengan kumis ‘baplangnya’ yang sering ia pelintiri saat bergaya di atas panggung. Hal itu menjadi nilai plus baginya, untuk masuk sebagai kriteria ‘Pemimpin Umat’ di kampungnya.

Kiai Kosasih, memang disegani oleh warga sekitarnya. Bahkan oleh para kiai yang lainnya. Setiap ada acara apapun, warga tak pernah lupa untuk mengundangnya dan memintanya untuk mengisi acara. Dia telah berhasil membangun karismanya di tengah masyarakat.

Namun sayang, seiring waktu berjalan, karismanya pun mulai pudar. Karena penyakit hati yang dimilikinya, yaitu Kaburo Maqtan. Istilah dari Alqur’an, yang biasa dipakai warga Cibolang bagi seseorang yang mengajak suatu kebaikan, tetapi dia sendiri tidak mengamalkannya. Ibarat sebuah lilin, yang hanya bisa menerangi kegelapan, sedang dirinya meleleh karna habis termakan api. Istilah yang disebut Mas Pur sebagai “Kiai Jarkoni”. Ya! Kiai yang pintar berceramah, tapi dia belum pintar mengamalkan ilmunya untuk dirinya.

Kiai Kosasih lupa pada satu hadits yang pernah ia sampaikan kepada jama’ahnya, “Fu Anfusakum Wa Ahlikum Naaro” (Jagalah diri dan keluargamu dari siksa api neraka). Menyuruh suatu kebaikan, haruslah dimulai dari diri, keluarga, setelah itu baru lingkungan sekitar.

Setiap kali Zuhur tiba, Kiai Kosasih tidak mendatangi masjid. Dia malah sibuk dengan sawahnya yang berhektar-hektar itu. Akhirnya, Amin yang biasa azan Zuhur pun harus mengambil posisi Kiai Kosasih sebagai imamnya. Sedang Mas Pur dan Bapak Amin, bertindak sebagai makmum. Adapun warga yang lainnya, mereka terlena dengan kesibukannya masing-masing. Seolah-olah, mereka tak mau kalah dengan Kiai Kosasih. Azan Zuhur yang dikumandangkan oleh Amin pun, layaknya seperti nyanyian seorang pengamen yang tak dihiraukan orang dan berlalu begitu saja.

Warga di kampung Cibolang, akhir-akhir ini sering membicarakan perihal penyakit Kiai Jarkoni itu. Bagaimana tidak, beberapa aibnya sudah terlampau batas. Bahkan sudah tersebar ke mana-mana. Tentang shalatnya dia di rumah, dengan meninggalkan shalat berjama’ah di masjid. Uang infak jama’ah yang di pinjamnya, untuk modal usahanya berternak kambing. Sampai saat ini, belum juga di kembalikannya. Lebih parah lagi, tahun ini Kiai Kosasih tidak memberikan zakat mal tahunan anak sulungnya kepada warga, padahal itu adalah amanat.

Sikap Kiai Kosasih itu, sangat bertolak belakang dengan semua ceramah yang sering ia sampaikan kepada jama’ah yang hadir di setiap pengajian.
“Barang siapa yang shalat di rumah, maka kata Rasul rumahnya harus dibakar!” Katanya pada suatu ketika.
“Pahala shalat berjama’ah itu, lebih baik dari shalat sendirian, sebanyak 27 derajat” Ujarnya berapi-api di penghujung bulan Ramadhan.
“Ciri-ciri orang munafik itu :…Apabila diamanati, ia berkhianat!”. Ceramahnya lagi di lain kesempatan.
Masih banyak dalil lainnya, yang sudah tidak asing lagi ditelinga para jama’ahnya.

Suatu hari, warga beserta Amin mendatangi rumah Kiai Kosasih untuk menagih janji. Walau dengan rasa was-was, mereka terpaksa datang. Karena sudah terlanjur kesal, menunggu lama akan janjinya yang ingin membagikan uang zakat mal dari anaknya yang sekarang ini sudah kaya raya. Usaha anaknya sebagai pemilik rumah makan sunda, semakin maju. Bahkan sudah memiliki cabang di kota-kota besar. Biasanya, tiap tahun anak sulung Kiai Kosasih itu memberikan zakat dan dibagikan kepada warga yang hampir seluruhnya termasuk orang yang berhak menerima zakat. Entah kenapa, tahun ini Kiai Kosasih masih menyimpan lama uang zakat itu berada di sakunya.

Warga berbondong-bondong mengikuti barisan. Amin yang sudah siap menyerang Kiai Kosasih dengan argumennya, berada di barisan paling depan. Di sampingnya, terlihat Mas Pur yang sudah siap membela Amin. Warga mempercayakan kepada Amin untuk menghadap Kiai Kosasih, karena hanya dialah kerabat Kiai Kosasih yang paling dekat. Kiai Kosasih adalah Kakak kandung ibunya. Selain itu, Amin dipandang warga sebagai pemuda yang bisa diandalkan dalam hal berdebat masalah agama. Ilmu yang dimilikinya kini, adalah hasil dari kesabaran dan ketekunannya belajar kepada Kiai Kosasih. Mulai dari kelas satu Madrasah Ibtidaiyah, sampai saat ini, ketika usianya sudah menginjak 23 tahun.

Uwa… kedatangan kami ke sini hanya ingin menanyakan kabar Uwa, karena sudah sebulan lebih Uwa tidak lagi shalat berjama’ah di masjid bersama kami,” Jelas Amin, mengutarakan maksud kedatangannya bersama warga di sana.
Ente! ngora-ngora, wawanian nanya kitu ka kolot siah, Min!” (Kamu, masih muda sudah berani bertanya begitu sama orang tua, Min…) Sungut Kiai Kosasih.

Amin terkejut dengan jawaban Kiai Kosasih yang langsung menyerangnya dengan sangat garang. Mata Kiai Kosasih melotot, bak seekor singa yang siap menerkam mangsanya. Mukanya pun, berubah memerah padam. Suasana di rumahnya itu, menjadi panas. Sejenak, Amin menunduk. Hatinya bergetar. Dia berusaha untuk lapang dada. Mencoba mengendalikan amarahnya. Sedang warga lainnya terlihat diam membisu. Walaupun mereka sebenarnya ingin sekali melampiaskan amarahnya yang selama ini terpendam.

“Warga kampung kita sangat membutuhkan Uwa. Masjid kita menjadi sepi, Wa…”

Amin terdiam sejenak, menuggu respon dari Kiai Kosasih. Kiai Kosasih tak menghiraukannya, ia malah sibuk membereskan dokumen-dokumen yang berserakan di atas meja. Melihat itu, Amin  melanjutkan pembicaraannya.
“Selain itu, kedatangan kami ke sini bermaksud ingin menanyakan uang zakat dari Kang Rahmat, Wa…”
 “Ah…! Asal ente tahu ya, Min. Uwa mah sudah bosan dengan kalian yang tidak taat kepada imamnya, dosa!”

Brukk!

Meja tamu di gebraknya. Kiai Kosasih meniggalkan Amin dan warga menuju kamarnya. Dia langsung mengunci pintu kamar. Istri Kiai Kosasih yang dari tadi menyimak perdebatan suaminya dengan warga, manangis karena malu dengan perlakuan suaminya terhadap warga. Amin pun segera meninggalkan rumah, diikuti oleh warga. Akhirnya tujuan utama mereka untuk menagih janji Kiai Kosasih pun, tak mendapatkan hasil. Malah cibiran dan amarahnya yang mereka terima.
***

Pagi hari, Amin dikejutkan dengan sebuah benda besar berukuran segi panjang, yang bersandar tepat di depan pintu gudang, tempat Amin biasa menyimpan barang-barang dagangannya. Sebuah papan tulis, bertuliskan kaligrafi yang sangat indah. Hanya memakai kapur tulis. Terlukis sebaris ayat Al Quran.

Dahi Amin berkerut. Dia bingung. Siapa gerangan yang menyimpan papan tulis itu. Dan siapa gerangan yang menulis ayat itu dengan tulisan kaligrafi yang begitu indah. Pikiran Amin mengembara, mencoba mencari satu sosok yang mungkin bisa dituduh sebagai pelakunya. Akhirnya, Amin ingat akan satu sosok kakak iparnya, yang beberapa hari yang lalu pernah menulis kata Kiai Jarkoni di papan tulis itu. Tapi, Amin pun merasa tidak yakin, kalau Mas Pur lah pelakunya. Karena setahu dia, Mas Pur tidak bisa membuat kaligrafi yang seindah itu. Jangankan kaligrafi, menulis huruf hijaiyah saja masih gemetaran.

“Kaburo maqtan ‘indalloha an taquulu malaa taf’aluun…”
“Sangat dibenci di sisi Allah jika kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.”

Dengan perlahan, Amin mulai membaca ayat yang ditulis di papan tulis itu. Ayat ke tiga, yang terdapat dalam Al Qur’an surat As-Shaff. Hatinya bergetar. Setiap kata, ia terjemahkan artinya. Dan akhirnya badan Amin melemas. Kakinya seolah lumpuh, tak mampu menopang badannya. Seketika, ke dua lututnya mencium lantai. Sedang ke dua betisnya menjulur ke belakang dan menempel di lantai.
“Mas Pur…” Amin bergumam, bercampur rasa haru.

Amin baru ingat, kalau kakak iparnya itu pernah belajar kaligrafi dari Kiai Kosasih sebulan yang lalu bersamanya di masjid. Memang mas pur seorang yang semangat dalam hal menimba ilmu dan beribadah. Dia lah jama’ah yang tidak pernah absen menghadiri pengajian Kiai Kosasih. Dia lah yang paling rutin menyisihkan sebagian penghasilannya sebagai pedagang, untuk infak di masjid. Dan dia lah warga yang paling bersemangat dalam melakukan tugas kebersihan, setiap jum’at pagi.

Amin merasa sangat beruntung memiliki kakak ipar, seperti Mas Pur. Padahal, Mas Pur hanya pendatang di kampungnya itu, yang berasal dari Jawa Tengah. Meskipun ilmu agama yang dimilikinya sedikit, tetapi semangat dalam mengamalkannya begitu luar biasa. Kini, Mas Pur sudah tidak berada di kampungnya lagi. Sehari setelah kejadian demo masal di rumah Kiai Kosasih itu, Mas Pur beserta istri dan ke tiga anaknya pindah ke kampungnya di Jawa Tengah. Rasa kehilangan akan Mas Pur tiba-tiba muncul dalam diri Amin.
***
Mas Pur dan Kiai Kosasih, dua hamba Allah yang sedang Amin fikirkan di suatu malam. Sehabis shalat Isya, Amin masih di masjid dan tidak langsung pulang ke rumah. Amin duduk termenung sendiri di antara hamparan sajadah yang masih berserakan, bekas jama’ah shalat Isya tadi.

Mas Pur, seorang manusia yang diberi nikmat oleh Allah, berupa kemudahan dalam mengamalkan ilmunya. Bisa dibilang, dia orang bodoh dan awam terhadap agama. Amin ingat, dulu saat kedatangannya meminang kakak perempuannya yang bernama Aminah, sempat ditolak oleh Kiai Kosasih dengan alasan kekurangan Mas Pur dalam hal ‘Din’. Tapi, penolakan Kiai Kosasih dibantah keras oleh Aminah, kakaknya. Karena Aminah yakin, Mas Pur pasti bisa menjadi pemimpin keluarganya nanti. Sedang, Bapak dan Ibu Amin hanya bisa mendukung antara ditolak atau diterimanya Mas Pur sebagai suami Aminah. Walaupun mereka sempat terpengaruh oleh Kiai Kosasih. Mas Pur telah berjanji kepada Kiai Kosasih, kalau dia diterima untuk menikahi Aminah, dia akan belajar memperdalami agama islam padanya. Terbukti, selama dia mengikuti pengajian Kiai Kosasih, dia begitu semangat dan khusyu. Belajar mulai dari nol. Rukun-rukun shalat beserta bacaannya, ia pelajari. Satu hadits, satu ayat, dia berusaha untuk menghafalnya, dibimbing Aminah istrinya. Dan semua nasehat Kiai Kosasih, dia dengar, dan dia amalkan dalam sehari-harinya.

Sedang Kiai Kosasih, sudah tak diragukan lagi kepintarannya dalam hal ilmu agama. Ilmu alat, seperti nahwu dan shorof yang diwarisinya dari almarhum Kiai Zakaria, sudah disebarkan kepada murid-muridnya yang pernah menimba ilmu padanya, termasuk Amin. Serta tafsir qur’annya yang ia kuasai dari berbagai kitab tafsir, selalu ditunggu oleh ulama lainnya, untuk sekedar berbagi ilmu kepada mereka. Juga ilmunya dalam berpidato, sudah diturunkan kepada murid- muridnya. Namun, rupanya syetan dalam dirinya sebanding dengan kepintaran Kiai Kosasih dalam menggoda dan menyesatkan jalannya. Sehingga Kiai Kosasih lupa akan dirinya, terlena dengan kedudukannya, dan takjub atas kepintarannya…

“Astaghfirullah…”. Amin beristighfar. Hatinya berontak, ingin segera menolong pamannya itu yang hampir terperosok ke dalam jurang. Namun keinginannya itu, tak didukung oleh kemampuannya dalam menghadapi Kiai Kosasih yang hatinya keras bak batu itu. Amin hanya mampu berdo’a dan berharap kepada Allah yang maha membalikan hati manusia, Semoga Kiai Kosasih dibimbingNya ke jalan yang benar, Allah mengembalikannya ke hati yang semula, hati yang penuh dengan cinta terhadap sesama, bukan hati yang terkotori oleh nafsu dunia yang maha fana…
Amin…”

“Kiai Jarkoni….he he…”. Ucap Amin seketika, sembari tertawa nyengir.

Amin berfikir, mungkin di luar sana masih banyak Kiai Jarkoni-Kiai Jarkoni lainnya. Bisa jadi kelakuannya lebih parah dari kelakuan pamannya itu. Bagaimana jadinya, di negaranya yang mayoritas kaum muslimin itu dipimpin oleh Kiai Jarkoni. Apakah memang ini pertanda akhir zaman?. Di mana, banyak orang yang pintar berceramah sedang ulama yang takut kepada Allah menjadi minim, bahkan punah ditelan zaman. Dalam sendirinya, Amin menghela nafas…

Malam di kampung Cibolang itu mulai sepi, sesepi rumah Allah dari sang Kyai. Semua penghuninya sudah berada di rumah masing-masing, menikmati sajian acara sinetron di televisi. Hanya sesekali suara telapak kaki orang lewat terdengar. Atau cekikikan anak-anak muda yang berada di teras rumah, samping masjid. Entah apa yang mereka bicarakan. Tak mau kalah, suara kodok dan cekrikan jangkrik di pematang sawah, ikut meramaikan suasana malam.

Catatan :
*Iki           = Ini
*Melakoni = Melaksanakan / Menjalankan
*Uwa        = Panggilan keponakan kepada pamannya

Puisi : Kyai Jarkoni

"Kyai Jarkoni"

Masih kuingat semua nasehatmu dulu
Seruan penuh semangat yang menggebu-gebu
Semua orang patuh dan manta'atimu
Karena engkau adalah insan yang berilmu

Seiring waktu yang terus berlalu
Perubahan padamu membuat aku jemu
Entah apa yang ada dalam benakmu
berucap kata, penuh hikmah, bersumber dari ilmu
namun jauh dari segala tingkah lakumu itu

Ya Rabb...
PadaMu aku hanya bisa mengadu
Tentang insan yang dulu pernah berbagi ilmu padaku
Dan juga teman-temanku dulu
Di tanah air ibu kandungku...
"Kembalikanlah dia ke jalanMu!"

Kyai Jarkoni...
Mengajar ilmu tapi tidak melakoni
Engkau bangga dan merasa puas
Akan ilmumu yang sudah luas
Merasa dipuja dan dihormati...
Tak malukah engkau pada padi yang maha rendah hati?
Semakin berisi, semakin menundukan diri

*keluar dari hati untuk hati...
(Qatar, usai shalat maghrib/ 06:57, 21 Juni 2010)

Minggu, 27 Maret 2011

Puisi : Subuhnya Para Makhluk


"Subuhnya Para Makhluk"


Subuh ini, subuhnya para makhluk
Semua tasbih, berdzikir, mengingatMu

Burung pun bertasbih, lewat kicauan merdu
Ayam pun ikut bertasbih, melalui kokoknya


Subuh ini, subuhnya para makhluk
Jalanan masih hening,
Gelap, dibalut dingin serta badai angin dari gurun sana,
Adakah satu manusia yang terlihat di jalan sana?
Yang berjalan mengikuti petunjuk dariMU Tuhan…

::Qatar, 23 Februari 2011::

Opini : Senyummu Membangkitkan Iman

"Senyummu membangkitkan iman". Hmm...Sebuah kalimat yang lebih tepat diucapkan dari pada kalimat ini : "Senyummu menggoda iman". Karena kalimat itu pantas kita ucapkan ketika melihat seseorang yang tersenyum kpd kita, berarti dia sudah sedekah sama kita. Sehingga senyumannya itu menjadi teguran dan ajakan bagi kita untuk selalu membudayakan senyum. Karena senyum itu ibadah, kalau niatnya ibadah berarti akan menambah keimanan kita.

Coba bandingkan sekali lagi antara dua kalimat di bawah ini :
"Senyummu membangkitkan iman" dan "Senyummu menggoda iman".

pasti ke duanya akan berbeda arah dan tujuan...




Puisi : Kuning Jingga


"Kuning Jingga"

Pada penghujung sore itu,
Di sudut jendela ruangan kosong,
Wajahku terpaku pada langit terindah saat menjelang maghrib.
Mataku terasa sejuk, 
takjub akan pesona indah warna kuning-jingganya langit...
Seketika itu, aku teringat akan sosok Ibuku,
Saat langit kuning jingga, ia pernah berpesan padaku :
"Kalau kamu rindu Ibu, tataplah langit saat berwarna kuning jingga, karenanya jarak jauh yang memisahkan kita akan terasa dekat"

::Qatar, 7 Januari 2011::

Hikmah : Kejujuran

Kejujuran, membuat orang setia.
Kejujuran, membuat kita tenang dan bahagia.
Kejujuran adalah sesuatu yang ada tanpa mengada-ada.
Kejujuran begitu elok bagi pemilik sifatnya.
Kejujuran walau terasa rendah di mata namun sangat berharga di sisiNya.
Kejujuran bukan seperti mendung yang ternyata tidak menurunkan hujan.
Kejujuran ibarat matahari yang muncul dari timur dan tenggelam dari arah barat.
Kejujuran adalah air bening yang tanpa tercampuri oleh noda.
Karena kejujuran, mampu membangkitkan rasa, sangat menggoda orang yang meliriknya...





Kisah : Akhirnya Kumenemukanmu (1)

"Akhirnya kumenemukanmu...". Sebuah  lagu yang dinyanyikan oleh Naff, band tanah air papan atas ini, kayaknya selaras dengan perasaan hatiku saat ini. Bersyukur kepada Allah, karena Dia telah mengabulkan permohonanku selama ini. Sebuah cerita yang saya alami sendiri dalam hidup ini. Sebagai lelaki yang berharap dan menanti seorang kekasih yang akan menemani hidupku sepanjang usia. Hati ini bahagia tak terbayangkan rasanya. Saat aku dipertemukan dengan seorang wanita yang insyaAllah akan menjadi istri dan ibu bagi anak-anakku kelak.

Ada skenario yang Allah susun untukku. Saat pertama kali ku bertemu dengannya, di rumah dia, dua tahun yang lalu. Walau sepintas ku melihat wajahnya. Dan baru kali pertama aku mengenalnya. Berawal dari pertemuanku dengan ayahnya, saat aku berkunjung ke rumah saudara seagamaku. Satu syawal 1429 Hijriyah yang lalu. Di rumah saudaraku itu, aku bertemu dengan ayahnya yang kebetulan punya niat sama untuk bersilaturahmi.

Tak lama aku berbincang-bincang dengan saudaraku dan juga ayahnya, aku pun pamit. Namun sang ayah itu mengajakku untuk mampir ke rumahnya. Kebetulan aku adalah teman anaknya dulu di pesantren. Jadi, apa salahnya saya mampir sejenak ke rumahnya. Dan memang waktu itu teman satu pesantrenku itu sedang ada di rumah.

Di rumah temanku itulah. Dia, calon istri masa depanku, bertemu denganku. Walau sepintas, saat dia menyuguhkan air minum untukku di ruang tamu....

Tak lama aku di rumah temanku itu. Aku pun pulang dengan membawa satu harapan dan pertanyaan yang besar sepanjang hidupku :"mungkinkah aku bisa mengenalnya,dan mengajukan lamaran untuknya?". Secepatnya ku raih hp di saku celanaku, dan mulai mengirim sms yang isinya : "Akhi, adik antum sudah menikah apa masih single?". Smsku pun segera dibalasnya, isinya seperti ini :"Afwan akhi, Adikku ini sedang ta'aruf dengan ikhwan lain".

Setelah informasi yang dikirim lewat sms oleh temanku itu. Aku hanya bisa pasrah dan terima dengan lapang dada. Mungkin Allah sudah sediakan pendampingku di luar sana. Aku pun mulai melupakan gadis itu. Dan memulai kembali mengembara, mencari sosok wanita yang Allah sediakan untuk kujemput.

Bersambung...